SURABAYA mengalami perubahan. Dengan lampu-lampu jalan, bunga yang memenuhi taman-taman dan sisi jalan, kota terbesar kedua di Indonesia ini semakin nyaman, aman, dan lebih sejahtera.
Desentralisasi telah menciptakan dinamisme di perkotaan Jawa Timur. Menurut ekonom dari Universitas Airlangga, Ichsan Modjo, pertumbuhan Surabaya yang mencapai 7% dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini secara konsisten melebihi level pertumbuhan nasional.
Pak Leak Kustiya, pemimpin redaksi Radar Surabaya, secara menggebu-gebu mengatakan, "Rasa kepemilikan dan ‘semangat’ kita benar-benar telah bangkit. Kita ini adalah orang-orang yang tangguh dan mandiri, tetapi sekarang ini kita juga menyadari kalau kita perlu bekerjasama. Kita telah menjadi pusat industri pariwisata, ritel, dan pusat hiburan yang besar.”
Pembangunan juga sudah mulai menyebar ke wilayah sekitar Surabaya. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan yang terlihat baik di wilayah selatan dan barat, dengan bermunculannya kota-kota mandiri setelah Pakuwon Indah dan Graha Familia.
Makan Mawlana Malik Ibrahim, seorang daripada Walisogo
Meskipun demikian, sejarah Surabaya tetap hidup di tengah-tengah pembangunan ini. Di Jawa Timur, kebudayaan dan sejarah tidak pernah terkubur jauh dari permukaan. Bahkan, sejarah dan kebudayaan itu semakin kuat dengan tradisi masyarakat Jawa yang sudah mengakar seperti: berziarah ke makam dan mengunjungi tempat-tempat relijius.
Makam Sembilan Wali (atau Wali Songo), tokoh yang pertama kali membawa Islam ke Pulau Jawa sangat dihormati dan ramai dikunjungi – terutama saat akhir pekan atau liburan sekolah.
Banyak golongan Muslim konservatif yang tidak setuju dan menyebut praktik ini 'tidak Islami'. Namun demikian, kritik-kritik semacam ini mengabaikan pentingnya nilai spiritual dan kebudayaan dalam tradisi itu bagi masyarakat Jawa.
Selain itu, kegiatan 'ziarah kubur' ini menghubungkan kembali masyarakat dengan tanah asal dan sejarah mereka. Dengan mengunjungi tempat-tempat seperti makam Sunan Giri di Gresik (seperti yang saya lakukan akhir minggu lalu), mereka diingatkan pada tokoh ulama muda dan leluhurnya – putra dari seorang pria Muslim dan putri raja non-Muslim, yang dibuang dan diasingkan sejak lahir ke daerah tersebut.
Situs makam di Gresik ini cukup mengejutkan. Sejarah menyebutkan, awalnya Sunan Giri adalah seorang murid, lalu menjadi menantu Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang paling terkenal.
Suasana yang gelap dan tertutup menyebabkan udara di sekitar makam yang terbuat dari marmer itu menjadi lembap: lengket dan membuat sulit bernapas.
Terdapat sekumpulan orang yang mengelilingi di luar bangunan kayu yang dibuat untuk melindungi makam. Mereka menunggu berkelompok di depan pintu masuk. Sebuah gerbang yang tingginya hanya sekitar satu meter membuat mereka terpaksa menunduk saat melangkah masuk.
Dengan penuh keringat, saya mencoba berkonsentrasi membaca Surah Yassin. Dinding kayu di dalam makam dihiasi dengan ukiran-ukiran, dan sesekali angin sejuk mengalir masuk. Saya bersandar di permukaan kayu untuk mengurangi rasa panas.
Makam ini terletak di atas bukit kecil di Gresik. Kota Gresik berada sekitar 10 kilometer di utara Surabaya.
Dikelilingi tanah berlumpur, pasir garam dan gundukan tanah dari sungai Brantas, Bengawan Solo dan Porong, kawasan pantai ini sudah lama menjadi wilayah Pulau Jawa yang terpadat. Daerah ini juga menjadi tempat di mana tanah dan air bertemu.
Di pantai utara Jawa ini, Islam mengumpulkan pengikutnya dari kampung ke kampung, kota ke kota. Satu persatu, warga Demak, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya menjadi penganut Islam.
Proses dan sejarah ini telah diabadikan, diceritakan dan bahkan ditelusuri kembali jejaknya oleh umat dan peziarah yang mengunjungi kesembilan makam Wali Songo – kegiatan yang sudah dilakukan selama lebih dari 500 tahun.
Setelah saya selesai berdoa, saya menjauhi makam, berusaha menembus kerumunan orang yang masih berdoa. Pemandu saya, Rijal Mumazziq, intelektual muda dari Nahdatul Ulama, membawa saya ke warung di dekat situ. Kami duduk di bangku panjang dan memesan teh. Tehnya panas dan manis, namun anehnya malah menyegarkan.
Kami mengamati ratusan peziarah yang berlalu lalang. Sebelum memasuki kota tadi, saya melihat area parkir luas dan dipenuhi bus kecil dan mobil van.
Pemandangan itu layaknya parade: seisi kampung, tiga-empat generasi dari keluarga yang sama, semuanya berkunjung sekaligus. Ada paduan aura keseriusan, kekaguman dan sedikir rasa takut – dalam konteks takut tersesat dalam kerumunan orang, atau terpisah dari rombongan.
Rasa takut mereka ini seperti mencerminkan kekhawatiran Indonesia ketika negara ini dilanda modernitas dan perkembangan ekonomi. Rasa takut akan 'kehilangan' identitas diri dan budaya di tengah globalisasi ini sama kuatnya dengan rasa takut tersesat dalam kerumunan orang.
Namun, ketika saya melihat pengabdian dan keyakinan yang terpancar dari mata mereka, saya berpikir masyarakat Indonesia masih dapat bertahan atas kekhawatiran yang ada, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment