Pages

Tuesday, June 15, 2010

Di Sebalik Perompakan Kapal Freedom Flotilla

Di tahun-tahun permulaan abad 21, dunia kembali menyaksikan tragedi berdarah yang mengiris hati. Rezim Zionis Israel, menyerang kapal bantuan kemanusiaan untuk Gaza, Freedom Flotilla yang dicatat dalam lembaran sejarah sebagai tragedi kemanusiaan.

Ketika warga Palestina di Gaza menantikan uluran bantuan, pasukan komando angkatan laut rezim Zionis Senin Pagi (31/5) menyerang konvoi kapal bantuan kemanusiaan Freedom Flotilla. Israel menyerang kapal kemanusiaan itu di perairan internasional. Sontak, agresi terencana dan terorganisir atas instruksi langsung Menteri Peperangan Rezim Zionis, Ehud Barak ini menewaskan dan menciderai sejumlah aktivis kemanusiaan. Pembajakan kapal yang mengangkut aktivis kemanusiaan dari 40 negara dunia ini dilaporkan menewaskan dan menciderai hampir 100 orang.

Konvoi bantuan kemanusiaan Freedom Flotilla terdiri dari sembilan kapal yang berangkat dari bandar Turki dan Yunani dengan tujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga Palestina di Jalur Gaza yang diblokade. Kali ini, Freedom Flotilla mengangkut 10 ribu ton perlengkapan medis, puluhan kursi roda bagi korban cacat, rumah siap pasang (precast) dan bahan bangunan untuk sekolah dan bangunan yang hancur akibat perang 22 hari di Gaza.

Perompakan kapal bantuan kemanusiaan yang mengangkut para pengacara, seniman, politisi dan tim medis dari seluruh dunia tersebut menunjukkan esensi anti kemanusiaan rezim Zionis Israel dan dahsyatnya tragedi kemanusiaan di Gaza kepada dunia. Ironisnya, pasca penyerangan pasukan komando rezim Zionis ke arah kapal Mavi Marmara, Menteri Peperangan Israel, Ehud Barak di hadapan pasukan khusus Israel mengucapkan terima kasih atas keberhasilan operasi militer tersebut. Bahkan, Barak berulang kali mengungkapkan pujian Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu kepada regu sergap Komando Israel yang menyerang kapal bantuan kemanusiaan itu.

Sejak rezim Zionis memblokade Jalur Gaza pada Juni 2007 dan tragedi perang berdarah 22 hari di akhir 2008, Gaza sepenuhnya berada dalam penjara raksasa bernama blokade. Israel menutup seluruh jalur hubungan luar negeri dari darat dan laut. Bahkan, Mesir turut mengamini instruksi Tel Aviv dengan menutup perbatasan darat Rafah.

Agresi rezim Zionis ke Jalur Gaza membeberkan sebuah fakta bahwa para pejabat teras Tel Aviv, tanpa mengindahkan tekanan publik dunia, melakukannya atas dukungan AS dan sejumlah negara Eropa. Bahkan, Barat tetap mendukung Tel Aviv ketika rezim Zionis menggunakan senjata non konvensional dan terlarang sekalipun, seperti bom fosfor putih, bom cluster dan hulu ledak yang dilengkapi uranium dengan pengayaan rendah dalam serangan 22 hari ke Jalur Gaza. Serangan brutal rezim Zionis yang sebagian besar menewaskan anak-anak dan perempuan ini tidak bisa menyeret para pejabat teras rezim Zionis ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Tidak hanya itu, laporan Richard Goldstone, Ketua Komisi Investigasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perang Gaza tidak bisa membuka mata negara-negara Barat yang terus memperalat lembaga-lembaga internasional seperti PBB demi mendukung Israel. Dengan demikian, negara-negara tertindas tidak boleh terlalu berharap akan mendapat dukungan dari lembaga internasional.

Menyikapi pembajakan kapal bantuan kemanusiaan Gaza yang dilakukan rezim Zionis, Dewan Keamanan PBB cukup hanya mengeluarkan resolusi lemah dan mengecam aksi brutal rezim agresor Israel. Anehnya, lembaga yang bertanggungjawab terhadap keamanan internasional ini justru menyerahkan keputusan final lewat investigasi terhadap pelanggaran kemanusiaan yang begitu jelas bagi mata dunia itu.

Di satu sisi, Dewan hak asasi manusia internasional mengeluarkan resolusi yang berisi desakan untuk menyelidiki penyerangan ini. Dengan 32 suara setuju, 3 suara menolak dari Amerika Serikat, Italia dan Norwegia, serta 9 suara abstain, Dewan Hak asasi manusia PBB tidak menyinggung sedikitpun sepak terjang anti kemanusiaan rezim Zionis. Bahkan, AS sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, lewat Juru Bicara Gedung Putih mengatakan, Dewan Hak Asasi Manusia PBB tergesa-gesa menilai sepak terjang Israel. Segala bentuk investigasi harus berkoordinasi dengan Tel Aviv. Tidak diragukan lagi, di tengah reaksi pasif sejumlah negara Barat, PBB, terutama negara-negara Arab, kejahatan Israel mengirimkan pesan bagi Barat dan dunia mengenai kejahatan anti kemanusiaan rezim agresor ini.

Jelas kiranya, blokade tiga tahun Gaza tidak menghasilkan apapun, kecuali kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan kehancuran bagi bangsa Palestina. Reaksi publik dunia terhadap brutalitas rezim Zionis yang sejak 2009 silam, di mulai dengan pengiriman konvoi bantuan kemanusiaan yang mengirimkan obat-obatan, bahan pangan dan kebutuhan yang diperlukan rakyat Palestina di Jalur Gaza.

Gaza, wilayah kecil di pesisir pantai dengan luas 360 meter persegi dan dihuni 1,5 juta jiwa ini, merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia. Dari 1,5 juta jiwa tersebut, satu juta di antaranya hingga kini hidup di kamp-kamp pengungsian UNRWA.

Penutupan penuh seluruh pintu perbatasan Gaza sejak 2009 menjadikan Gaza sebagai penjara raksasa bagi warganya. Kondisi mengenaskan tersebut membangkitkan solidaritas masyarakat dunia yang dibuktikan dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan hingga berakhirnya penderitaan akibat blokade biadab ini.

Kini, opini publik dunia dipengaruhi tragedi tewas dan cideranya sejumlah aktivitas kemanusiaan di tangan bengis pasukan komando rezim Zionis. Saat ini, kita menantikan apa yang akan dilakukan AS dan Eropa sebagai pendukung rezim Zionis yang terang-terangan mengancam kemanusiaan.

Jelas kiranya, operasi teroris pasukan komando angkatan laut Israel ke arah kapal bantuan kemanusiaan Gaza, Freedom Flotilla dilakukan terencana dan terorganisir serta mendapat instruksi langsung dari Tel Aviv.

Rezim agresor Israel selama 62 tahun lalu dengan dukungan Barat terutama Amerika Serikat dan Zionis internasional menyatakan eksistensi ilegalnya di Timur Tengah. Kini, Barat menyaksikan rezim Zionis selama 62 tahun eksistensi ilegalnya, tidak menghormati negara-negara Barat yang mendukungnya. Lebih dari itu, pembajakan kapal Freedom Flotilla juga mengirimkan pesan agar negara-negara Barat tidak mengintervensi rezim Zionis dalam urusan Gaza, bahkan Barat harus berada di samping Tel Aviv mendukung Israel.

AS dan Eropa terpaksa harus menebus arogansi rezim Zionis. Pembajakan kapal Freedom Flotilla menunjukkan kepada dunia bahwa Barat selama bertahun-tahun menutup mata atas kejahatan rezim Zionis dan bersekongkol dengan Tel Aviv. Perompakan kapal bantuan kemanusiaan Gaza seharusnya membangkitkan rasa kemanusiaan Barat.

No comments:

Posting Terkini